Situs
Makam Pasirmiri-miri berada di wilayah desa Cipedes, kecamatan Paseh, terdiri
dari: makam Eyang Wali Pameget, Eyang Wali istri. Patih Balung Tunggal, Eyang jampbrong,
Eyang Janggot dan Mama Raden. Eyang Raksasa, Eyang Sangkal Bolong, Sembah Dalem
Waru Suta, Eyang Odas, Eyang Aling-aling, Eyang Jaga Dora, Eyang Jaga Paksa dan
Eyang Jiwa Guna. Kompleks makam terletak di lahan seluas 700 tumbak.
Bangunan-bangunan
yang terdapat di lokasi Makam Keramat Pasirmiri-miri, terdiri dari 2 buah bale,
mushola, benteng dan sumur. Jalan menuju makam selebar 1 meter dengan panjang
sekitar 50 meter terbuat dari teras semen. Seluruh pembangunan infrastruktur
ini diperoleh dari sumbangan pengunjung.
SENGATAN DUPA ZIARAH
MANUSIA
memecahkan masalah-masalah hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuan. Tetapi
akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin sederhana kebudayaan
manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya. Persoalan hidup yang tidak dapat
dipecahkan dengan akal, dipecahkannya dengan magis, ilmu gaib, yaitu tindakan
manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam,
serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya. Magis dapat dikatakan
suatu ritus dalam bentuk do’a dan mantera yang diucapkan manusia untuk
menegaskan hasrat seseorang terhadap alam dan kekuatan-kekuatan gaib atas dasar
kepercayaan pada daya yang menguasai manusia untuk suatu maksud yang nyata
(Raymond Firth dalam Toto Sucipto. 2006:227)
Koentjaraningrat, seorang suhu antropologi Indonesia
menyebutkan mula-mula manusia hanya mempergunakan ilmu gaib atau magis untuk
memecahkan masalah-masalah hidup yang ada di luar batas kemampuan dan
pengetahuan akalnya. Pada waktu itu religi belum ada dalam kebudayaan manusia.
Lambat laun terbukti bahwa dengan magis tidak ada hasilnya, maka mulailah ia
yakin bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa
daripadanya dan mencoba berhubungan dengan makhluk-makhluk halus itu. Dengan
demikian timbullah religi.
Mengutip pendapat Durkheim, religi timbul dari sikap
sentimen rasa kesatuan terhadap alam misteri supranatural yang menguasai dunia.
Rasa kesatuan inilah yang menjamin ketenangan (kepuasan) yang biasanya
dilakukan manusia dengan berusaha mengadakan hubungan melalui berbagai cara
seperti sembahyang dan upacara-upacara suci lainnya. Dengan demikian, religi
merupakan alam kepercayaan (believe), yaitu opinion atau idea,
sedangkan upacara-upacara (ritus) merupakan modes of action.
Upacara-upacara semacam itu pada dasarnya merupakan usaha
untuk memelihara dan memperkuat kesakralan, agar kontak dengan alam
supranatural tetap berlangsung yang kemudian akan menimbulkan keteagan hidup
manusi. Salah satu perilaku spiritual dalam upaya memelihara hubungan tersebut
terwujud dalam sikap “sumerah” atau dalam istilah tradisi dikenal dengan
istilah “ngaawi-bitung”, mengosongkan diri untuk mendapatkan kekuatan
Illahi, Yang Maha Kuasa.
Sikap “kesumerahan” pada kekuatan Illahi itu,
menurut Koentjaraningrat, merupakan wujud dari emosi keagamaan (religions
emotion), yaitu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi
seorang manusia dalam waktu hidupnya, walaupun getaran itu hanya berlangsung
beberapa waktu saja. Emosi keagamaan ada di belakang setiap kelakkan serba
religi, sehingga menyebabkan timbulnya sikap keramat, baik pada kelakuan
manusia itu sendiri maupun pada tempat kelakuan itu diungkapkan.
Berbicara mengenai sikap keramat, terdapat suatu anggapan di
kalangan masyarakat bahwa tempat-tempat keramat adalah tempat bersemayamnya
arwah leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib. Tempat keramat yang didukung oleh
keberadaan tokoh mitos yang kharismatik, umumnya dijadikan tempat ziarah bagi
masyarakat dengan maksud dan tujuan tertentu. Menurut Rachmat Subagya (1981),
ziarah pada hakekatnya menyadarkan manusia bahwa hidup di dunia hanya sementara
dan manusia merupakan pengembara yang hanya singgah. Ziarah dengan mengunjungi
tempat-tempat keramat, makam leluhur, maksudnya bervariasi dan salah satunya
adalah memperoleh “restu” dari leluhur yang dianggap “telah lulus dalam ujian
hidup”.
Kunjungan atau ziarah ke makam, terutama makam leluhur atau
nenek moyang, merupakan tindakan yang dianggap penting bagi sebagian masyarakat.
Di Kabupaten Bandung, penyebaran makam keramat hampir merata di setiap wilayah
kecamatan. Tapi, hanya beberapa saja yang sangat ramai dikunjungi, misalnya
Makam Keramat Pamudar di Kecamatan Cikancung, Makam Keramat Pasirmiri-miri di
Kecamatan Paseh, makam Keramat Mahmud di Kecamatan Soreang, Makam Keramat
Cijambe di Kecamatan Pacet. Makam keramat Ranggawulungsari Gunung Wayang di
Kecamatan Kertasari, Makam Kermat Eyang Sepuh dan Eyang Anom, Makam Kermat
Mundingkawati, dan lain-lain.
Makam-makam yang diziarahi oleh masyarakat umum karena
dianggap keramat, terdiri dari makam tokoh agama, makam para leluhur suatu
wilayah, makam tokoh-tokoh penting dalam sejarah, serta makam tokoh mitos.
a.
Situs Makam Keramat Pasirmiri-miri
Pada sebuah bukit, tidak jauh dari jalan desa Cipedes,
kecamatan Paseh, terdapat kompleks makam keramat. Namanya Keramat
Pasirmiri-miri. Setiap hari, kompleks pemakaman ini selalu dikunjungi
masyarakat, baik dari wilayah masyarakat sekitar maupun dari luar daerah.
Adakalanya, warga yang datang dari jauh kerapkali menginap sampai beberapa hari
lamanya.
Kompleks makam ini, bagi kalangan peziarah merupakan salah
satu lokasi yang “wajib diziarahi” dalam sebuah rute ziarah spiritual di Tatar
Sunda. Seorang peziarah asal Garut dan Cianjur yang kebetulan sempat
berbicara dengan penulis menyebutkan, makam keramat Pasirmiri-miri
dipandang sebagai lokasi tempat ‘pertemuan’ para wali di awal-awal penyebaran
Islam di tatar Sunda, sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Pendapat ini
dikuatkan oleh kuncen Makam Keramat Pasirmiri-miri.
Di kompleks makam keramat ini terdapat beberapa makam yang
diduga berasal dari awal abad ke-17 berbarengan dengan munculnya kekuasaan
Mataram atas beberapa wilayah di Tatar Sunda. Makam-makam itu dibatasi sekelilingnya
dengan benteng setinggi 2 meter. Dan makam-makam itu, ada yang berada di dalam
benteng, ada pula yang berada di luar benteng.
Makam yang berada di dalam benteng, yaitu makam Eyang Wali
Pameget, Eyang Wali istri. Patih Balung Tunggal, Eyang jampbrong, Eyang Janggot
dan Mama Raden. Sedang di bagian luar benteng terdapat makam Eyang Raksasa,
Eyang Sangkal Bolong, Sembah Dalem Waru Suta, Eyang Odas, Eyang Aling-aling,
Eyang Jaga Dora, Eyang Jaga Paksa dan Eyang Jiwa Guna.
Sekarang, lokasi makam itu telah dibangun dengan menggunakan
alas keramik, sehingga nilai kekunoannya menjadi hilang. Padahal, sebelum
dibangun, makam yang terletak di lahan seluas 700 tumbak, itu bercirikan
batu-batu di bawah pohon yang usianya ratusan tahun. Sayang, sampai sekarang
pun, tidak ada yang mau menjelaskan siapa sebenarnya Eyang Wali Pameget dan
Eyang Wali Istri, sebab hanya dua makam inilah yang betul-betul dikeramatkan.
Kuncen Pasirmiri-miri mengaku, ‘pamali’ untuk menyebutkan namanya. Kepada para
peziarah, Kuncen hanya menyebutkan Eyang Wali Pameget dan Eyang Wali Istri.
Informasi yang didapat pun memang sangat minim. Kuncen lain
menyebutkan, Eyang Wali Pameget berasal dari Mataram, dan memiliki tunggangan
khusus, yaitu seekor macan putih yang menandakan bahwa ia seorang yang sakti.
Biasanya makam ini akan terasa ramai diknjungi pada hari-hari tertentu, seperti
Hari Jum’at Kliwon, dan hari-hari besar agama Islam. Tetapi, ada juga beberapa
pantangan, diantaranya tidak boleh berkunjung pada hari Rabu dan dilarang
merokok di dalam kompleks makam Eyang Pameget dan Eyang Istri.
Kalau mendengar keterangan dari kuncen, dan nama-nama orang
dalam kompleks pemakaman Pasirmiri-miri, terdapat beberapa jabatan yang
disandang oleh tokoh-tokoh tersebut. Seperti Patih Balung Tunggal, Sembah Dalem
Waru Suta, serta Jaga Dora dan Jaga Paksa. Pasirmiri-miri pun akhirnya mirip
sebuah wilayah kekuasaan yang selalu dilalui orang secara wara-wiri.
Bangunan-bangunan yang terdapat di lokasi Makam Keramat
Pasirmiri-miri, terdiri dari 2 buah bale, mushola, benteng dan sumur. Jalan
menuju makam selebar 1 meter dengan panjang sekitar 50 meter terbuat dari teras
semen. Seluruh pembangunan infrastruktur ini diperoleh dari sumbangan
pengunjung.
b.
Situs Makam Keramat Pangudar
Sekitar abad ke-18, semasa kedudukan Belanda atas Indonesia,
wilayah Kabupaten Bandung rupanya menjadi sebuah kawasan rebutan adu pengaruh
untuk berbagai kepentingan dan tujuan. Jika Belanda hanya berniat
mengeksploitasi lahan-lahan produktif untuk kepentingan ekonomi melalui
pengembangan produkdi-produksi unggulan seperti kina, teh dan kopi untuk
mengusai perdagangan dunia di Eropa, maka berbeda dengan Cirebon, Banten dan
Mataram. Politik ekspansi kolonisasi di wilayah Priangan dalam upaya perlawanan
terhadap imperialisme Belanda diwarnai pula dengan penyebaran Agama Islam yang
dimulai sejak abad ke-16 hingga abad ke-18.
Dalam kurun waktu selama kurang lebih dua abad itu, pengaruh
Agama Islam begitu cepat merebak hingga ke pedalaman, termasuk di wilayah
pedalaman Kabupaten Bandung. Kompleks makam keramat Pasirmiri-miri di Kecamatan
Paseh merupakan bukti penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Eyang Wali
Pameget beserta istrinya, Eyang Wali Istri yang berasal dari Mataram berbarengan
dengan masa kolonisasi Mataram di Tatar Ukur. Sementara itu, di Kampung
Cinangka, Desa Mandalasari, Kecamatan Cikancung, juga dapat ditemukan makam
keramat Pangudar, seorang tokoh penyebar agama Islam yang berasal dari Cirebon.
Dikisahkan, sekitar abad ke-18, atas perintah Penguasa
Kanoman telah diutus salah seorang keturunannya yang bernama R. H.
Pangeran Panji Argaloka atau Saca Wadana untuk menyebarkan agama Islam di
wilayah Cicalengka.
Beliau datang sendirian ke wilayah Cicalengka dengan
meninggalkan keluarga di Cirebon. Oleh sebab itu, beliau pun seringkali
bolak-balik antara Cirebon dan tempat yang baru ditempatinya. Kehadiran R.H.
Pangeran Panji Argaloka di tempat baru itu, rupanya dapat diterima oleh
masyarakat sekitar karena memperlihatkan sikap dan perilakunya yang baik.
Ditambah dengan pengetahuan agama Islam yang cukup luas, serta keahlian
lainnya, terutama dalam bidang pengobatan lahir maupun bathin, hal ini semakin
membuat warga merasa simpati. Bahkan, dalam waktu yang relatif singkat, telah banyak
yang menjadi pengikut setia untuk mendalami ajaran Agama Islam.
Pengaruhnya makin lama semakin luas dan besar sehingga tidak
memungkinkan lagi untuk bolak-balik ke Cirebon, karena harus melayani warga
yang begitu antusias terhadap ajaran agama Islam. Akhirnya, atas idzin keluarga
di Cirebon, beliau pun menetap di Cinangka dengan menikahi seorang perempuan
warga setempat.
Setelah menjadi warga Cinangka, R.H. Pangeran Panji Argaloka
semakin memberikan pengaruh yang sangat kuat dengan pendukung dan pengikut yang
dari tahun ke tahun terus meningkat. Keadaan ini membuat gentar Pemerintah
Hindia Belanda karena ada kecurigaan munculnya sebuah gerakan perlawanan yang
kerapkali dilakukan oleh kalangan pesantren terhadap ketidakadilan yang
dilakukan pihak Belanda sebagai kaum imperialis terhadap kaum pribumi.
Karena rasa ketakutan itulah, pada akhirnya pihak Belanda
berencana menyergap R.H. Pangeran Panji Argaloka. Rencana itu, sebenarnya sudah
tercium, akan tetapi beliau tidak bergeming maupun berusaha untuk
menghindarinya. Sehingga pada akhirnya, beliau pun benar-benar ditangkap dengan
cara diborgol untuk dibawa ke markas kompeni. Anehnya pada saat mau
diberangkatkan, mendadak R.H. Pangeran Panji Argaloka hilang (tilem)
tanpa berbekas.
Tapi, sebelum tilem beliau sempat memberi amanat
dengan terlebih dahulu membuka (ngudar) borgolnya melalui kesaktian yang
dimilikinya. Itulah sebabnya kemudian orang menjulukinya Eyang Pamudar.
Situs Budaya Makam keramat Eyang Pamudar atau R.H. Pangeran
Panji Argaloka terletak di Kampung Cinangka, Desa Mandalasari, Kecamatan
Cikancung memiliki luas 1,5 ha. Sarana/prasarana berupa mesjid, pos, bangunan
makam berukuran 12 X 14 m. Setiap hari rata-rata dikunjungi sebanyak 15
peziarah domestik yang berasal Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa.
c.
Situs Makam Keramat Sembah Dalem
Kalijaga
Makam keramat Sembah Dalem Kalijaga atau Eyang Paku Jaya
terletak di Kampung Ciwangi, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh. Jaraknya hanya
sekitar 500 m dari jalan raya Cipaku-Sayang. Sekarang berada di kawasan
pemakaman umum warga setempat.
Meskipun berada di kawasan pemakaman umum, kondisi makam
Keramat Sembah Dalem Kalijaga atau Makam Eyang Paku Jaya, tampak berbeda dengan
makam-makam umumnya. Makam ini berada di bawah pohon yang berumur ratusan
tahun. Di sekitar makam terdapat sebuah saung yang diperuntukan bagi peziarah
yang bermaksud menginap. Seputar makam, memang sudah tidak terlihat lagi nilai
kekunoannya karena pada sekitar tahun 1990-an, kawasan ini dibangun secara
permanen dengan menggunakan keramik.
Nilai kekunoan hanya masih terlihat dari batu-batu nisan
yang berasal dari batu alami yang terserak menutupi permukaan pekuburan. Dan
yang membedakan pula dengan dengan makam-makam lain, bahwa hampir setiap minggu
makam ini selalu saja ada yang berkunjung dengan berbagai kepentingan. Ada yang
berasal dari kalangan yang mengaku sebagai keluarga, para peziarah dengan
maksud-maksud tertentu dengan tujuan ingin mendapatkan sugesti agar sukses
dalam segala urusan.
Apalagi di kalangan peziarah ada yang menyakini, bahwa
semasa hidupnya Eyang Paku Jaya adalah sosok yang dianggap telah memberikan
kenyamanan dan perlindungan terhadap masyarakat sekitar. Sehingga banyak orang
yang berkunjung ke sana hanya unutuk mendapat karomah, menjadi orang yang benar-benar
jaya dalam mengarungi kehidupan ini.
Julukan Sembah Dalem Kalijaga sendiri uncul, karena semasa
hidupnya Eyang Paku Jaya adalah sosok yang senantiasa member perlindungan
kepada warga dengan banyak memberikan bantuan, baik bantuan berupa harta benda,
maupun bantuan berupa kesaktiaan di saat-saat warga mendapat ancaman bahaya
dari pihak luar.
Siapa sebenarnya sosok Eyang Paku Jaya sesungguhnya?
Berdasarkan hasil penelusuran dari berbagai sumber, ada yang
berpendapat bahwa Eyang Paku Jaya semasa hidupnya adalah seorang pemimpin besar
pewaris tahta kerajaan Timbanganten. Bahkan menurut sumber tersebut, yang
disebut dengan Eyang Paku Jaya adalah tidak lain dan tidak bukan ternyata Ratu
Cakrawati Wiranatakusumah.
Dadan Sungkawa dari Majalah Ujung Galuh menulis,
sebagai berikut:
Di Kampung Ciwangi, Désa Cipaku, Kecamatan Paséh kapanggih
makam kuno ti abad ka-17. Eta makam teh, katelahna makam Eyang Ratu. Tapi, ari
ku masarakat urang Ciwangi mah disebutna Makam Sembah Dalem Kali Jaga atawa
Paku Jaya.
Saenyana mah, nurutkeun Omay Sonjaya, salah saurang tokoh
masarakat Ciwangi, ngaran Sembah Dalem Kali Jaga téh euweuh hubungan anu natrat
jeung Sunan Kali Jaga anu nyebarkeun agama Islam di Pulau Jawa. Da ari maksud
Sembah Dalem Kali Jaga di éta tempat téh ngan saukur sesebutan urang dinya
pédah baheulana salila dina alam penjajahan, ka éta lembur tara kasorang ku
kaum Penjajah. Aya ogé nu lunta-lanto ka dinya, malah sok dilinglungkeun. Puguh
jaman harita mah kaasup kénéh leuweung geledegan.
Beuki dieu beuki dieu, aya diantarana anu panasaran, saha
saenyana Éyang Ratu téh?. Sok sanajan, masarakatna sorangan masih kénéh
cangcaya, saha atuh sabenerna makam anu kiwari disebut Sembah Dalem Kali Jaga
anu aya di lembur Ciwangi téh?
Mémang, cenah, éta makam téh nepi ka ayeuna sok pada
ngadegdeg. Pangpangna ku nu hayang ngalap berkah. Da kungsi kajadian, aya urang
Jakarta anu sok mindeng ka dinya bet diparengkeun maju usahana. Nepi ka

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca dan berkunjung di Kharedox.
Salam persahabatan.